Minggu, 07 Agustus 2011

kota merdeka

7 Agustus tahun ini ini jatuh pada bulan puasa, sama seperti 17 Agustus 1945. Bedanya 17 Agustus 1945 itu hari Jumat, sedang 17 Agustus 2011 adalah hari Sabtu.

Tiba-tiba muncul harapan: barangkali di dalam bulan ini dua semangat itu—puasa dan kemerdekaan—akan menyatu ke dalam merah darah kita untuk memerangi korupsi.  

Bagi saya, hasrat pertama nasionalisme di masa sekarang haruslah tentang memberantas korupsi. Sebabnya sederhana dan lurus-langsung: korupsi mengancam semangat dasar berbangsa dan bernegara, serta desire d’etre ensemble atau hasrat untuk bersama. 

Korupsi bukan soal kecil atau besar. Ia juga bukan pencurian biasa, melainkan pencurian kekayaan bersama yang dikumpulkan dengan susah payah melalui pajak dan pendapatan dari kekayaan alam kita.  Pajak adalah ekspresi dari hasrat untuk bersama itu, karena ia mewakili solidaritas untuk memberi secara berbeda-beda, tetapi mengharapkan balasan berupa barang dan pelayanan umum yang merata.

Korupsi itu mencuri dari khazanah yang suci – yang merupakan hati dari kehidupan bersama itu. 

Hasrat kedua terpenting di bulan Ramadan dan 17 Agustus ini bagi saya adalah: membangun kota yang baik. Sebab, di kotalah masa depan hasrat kebersamaan kita harus diwujudkan, kalau tidak negeri akan hancur. Gejala yang tidak akan berbalik adalah bahwa makin banyak bagian dari bangsa Indonesia akan hidup di dalam kota yang ada atau di dalam kondisi perkotaan. 

Kota kita kini rusak, dan tidak mungkin baik di masa depan apabila semangat Ramadan dan 17 Agustus tidak menyatu untuk memberantas korupsi.

Dan, kota adalah asal usul nasionalisme kita. Kalau tidak tinggal di kota Bandung, Soekarno mungkin tidak mengembangkan pemikirannya. Begitu juga Cokroaminoto di kota Surabaya. Kemerdekaan kita juga direbut di kota-kota.

Pemberontakan pertama pada tahun 1917 terjadi di angkatan laut pemerintah kolonial Belanda, disulut oleh Indies Social Democratic Party (cikal bakal Partai Komunis Indonesia). Surabaya juga mengalami episode penting lainnya: peristiwa 10 November 1945. Ini perang bersenjata berskala besar pertama antara Republik Indonesia dan tentara asing setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. 

Serangan umum ke Jogjakarta pada 1 Maret 1949 punya makna dalam karena tentara kita membuktikan mereka mampu menguasai kota, bukan hanya bersembunyi di hutan dan pedesaan.

Menjelang 17 Agustus: secara sederhana, perang-kota kita di masa depan adalah perang melawan korupsi, agar dapat membangun kota yang baik untuk memenuhi hasrat kebersamaan kita. Kota yang dapat mendukung kebersamaan adalah kota yang memiliki fasilitas umum yang nyaman dan dapat dimanfaatkan semua. 

Sebuah kota yang mendukung kesejahteraan masing-masing, dan meningkatkan interaksi sosial antara warga. 

Kata pepatah Aceh,”Celakalah rumah tanpa atap, celakalah kampung (kota) yang rumah-rumahnya tidak guyub.” Apakah ini terlalu sulit untuk dicapai?

Menurut saya, sulit atau tidak, harus dicapai.

0 comments:

Posting Komentar